Minggu, 18 Januari 2009

Pilih Korporat atau Rakyat


Oleh: Agus Hariyanto

Dunia perminyakan di Indonesia sama rumitnya dengan mistik, penuh misteri. Mengadapi harga minyak mentah dunia yang terus merosot, bukan segera menurunkan harga minyak secara signifikan, pemerintah malah berniat mencabut subsidi premium. Ada apa sebenarnya?
Selama ini kebijakan pemerintah terhadap harga minyak sepertinya tidak banyak berpihak kepada rakyat. Disaat harga minyak meroket, tanpa banyak pertimbangan pemerintah dengan gesitnya menaikkan harga sekaligus memangkas subsidi, bahkan sampai berulangkali. Akibatnya, rakyat miskin semakin menderita.
Sebaliknya, saat harga turun seperti saat ini, pemerintah terkesan lamban dan banyak berpikir. Sudah ada penurunan harga, tapi terlalu kecil dan tidak banyak berimbas pada perekonomian rakyat yang terlanjur terpuruk. Penurunan harga premium Rp 500 per 1 Desember disusul Rp.500 per 15 Desember kemarin lebih terkesan sebagai basa-basi pemerintah saja dalam menghadapi tuntutan masyarakat. Faktanya, di tengah masyarakat tidak ada harga yang turun mengikuti turunnya premium tersebut. Pemerintah seharusnya bisa menekan harga yang lebih besar lagi. Bukankah biaya produksinya lebih kecil dari harga jualnya.
Kini, rakyat yang sudah menderita itu juga harus menghadapi kenyataan pahit. Premium tidak akan disubsidi lagi. Mencermati semua ini, saya teringat dengan berita lama yang menyebutkan pemerintah telah memberikan izin kepada beberapa korporasi asing untuk mendirikan ribuan SPBU di seluruh Indonesia. Diantara korporasi tersebut ada Chevron dan Exxon Mobil yang merupakan penguasa hulu tambang minyak di Indonesia. Kini, beberapa SPBU nya sudah banyak beroperasi di Jakarta.
Kedua, saya juga teringat akan iklan Chevron dan Exxon Mobil yang akhir-akhir ini rajin muncul di Media. Masalahnya, mengapa mereka baru beriklan sekarang, berbarengan dengan isu pecabutan subsidi dari pemerintah? Mungkinkah hal ini terkait dengan ambisi mereka untuk juga menguasai sektor hilir minyak Indonesia.
Keganjilan-keganjilan diatas memang belum terbukti secara akurat, tapi bukankah hal ini ada kemungkinan untuk benar? Logikanya, jika pemerintah tetap memberikan subsidi yang besar terhadap minyak Indonesia, berarti selisih harga dengan produk mereka juga akan jauh dan kesempatan terjualnya produk mereka juga tipis. Dengan kata lain pembeli akan tetap setia dengan produk dalam negeri..
Tapi, jika pemerintah tidak lagi memberikan subsidi ataupun hanya memberikan subsidi kecil seperti saat ini, kesempatan mereka mengausai sektor hilir minyak akan nyata. Di tambah dengan pelayanan professional dan mutu yang lebih, saya kira paling tidak produk mereka akan banyak terbeli.
Dan jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin sektor perdagangan hilir minyak di Indonesia akan mereka kuasai, sebagaimana keberhasilan mereka menguasai sektor hulunya. Jika itu terjadi, maka produk kita akan tersaingi dan terdesak. Pendapatan Indonesia dari perdagangan hilir migas akan berkurang. Kita akan sulit mengendalikan harga pasar, karena kita bergantung pada kebijakan korporasi yang artinya, kedaulatan perminyakan kira terancam.
Yang paling penting, hal ini tentunya menyalahi konstitusi kita yang salah satunya mengamanatkan Negara untuk menguasai segala sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk migas.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tetap memberikan subsidi kepada rakyatnya. Pemerintah juga perlu mengkaji ulang nominal penurunan yang terlalu kecil itu, mengingat harga minyak dunia yang sudah turun drastis. Agar perekonomian masyarakat bisa kembali bergeliat.
Akhirnya, keputusan di tangan pemerintah juga. Jika pemerintah tidak menurunkan harga minyak dan memberikan subsidi secara signifikan, maka kita pantas bertanya, apakah pemerintah lebih mementingkan para korporat atau rakyat.

Tidak ada komentar: