Kamis, 24 Juni 2010

Petani Mogok

Cerpen oleh Agus Hariyanto
foto: http://beritamanado.com

“Mulyo Tani” itulah nama kelompok yang digagas oleh Mbah Mardi, seorang yang menghabiskan hampir setiap inci umurnya untuk bergelut dengan cangkul dan lumpur. Usianya memang lewat kepala tujuh tapi semangat dan daya kritisnya masih pilih tanding. Sorot matanya tajam, seakan menantang siapapun yang bersitatap. Rambutnya lurus sampai bahu, tak ada yang hitam barang sehelai.
Sisa-sisa kekekaran masih terlihat juga di tengah keriput yang semakin merata. Mbah Mardi jarang sakit laiknya kebanyakan petani karena rajin berolahraga; di sawah. Kalaupun sakit, paling cuma batuk atau demam yang lewat dalam hitungan hari. Kumis, cambang dan jenggot lebat yang menggelayuti wajahnya dijamin bisa menggetarkan lawan bicaranya.

Namun, semua warga desa tahu bahwa di balik wajah sangar itu teronggok hati nan lembut. Empat kerbaunya sering dipinjami tetangga. Hasil panen dari sawahnya yang cuma dua petak tak jarang dihutangi juga. Tapi dasar Mbah Mardi, semua mata yang keluar dari rumahnya hampir tak ada yang berwajah masam. Suwuk sembur nya yang ampuh melibas segala macam penyakit juga lumayan terkenal, bahkan sampai desa-desa seberang.

Mantan jawara pencak silat se-kabupaten ini tak punya keturunan. Satu-satunya istri telah mendahuluinya ke alam baka. Karenanya Mbah Mardi sangat senang jika ada seorang yang tandang bertuan. Sekadar mengasapi lorong rumah dengan tembakau, menyeruput kopi tak apa. Namun tak jarang pula seseorang tandang demi mendulang pertimbangan-pertimbangannya.

Malam Jumat kemarin ada lima orang berkumpul di rumahnya. Mbah Mardi sendiri, Sarmin, Jamari, Partono dan aku yang dalam kelompok baru ini dibebani sebagai juru tulis. Kami berlima karib senasib sedari mula. Mulai dari menggembala, memburu kuntul bahkan menjadi buruh di seberang.

“Anak-anak muda di desa ini harus sekolah, bagaimanapun caranya. Hanya itulah jalan keluar agar desa ini tidak terus terbelakang,” ucap Mbah Mardi membuka pertemuan.

“Saya setuju usulan itu. Banyak anak muda desa ini yang lumayan pintar tapi tak bisa meneruskan sekolah di perguruan tinggi. Tak ada biaya,” ucap Sarmin.

“Tahun lalu, cucu saya malah memperoleh tawaran beasiswa dari Semarang karena dapat rangking dua se-kecamatan tapi tak diambil. Walaupun SPP nya gratis kehidupan di kota kan mahal,” tambah Jamari yang malam itu mendapat mandat sebagai pemelihara kas.

“Untuk itulah kalian aku undang. Aku ingin anak-anak ini kuliah tanpa harus memikirkan biaya,” Mbah Mardi menjawab.

“Masa ada sekolah tidak butuh uang,” sahut Partono.

“Aku sudah memikirkan hal itu sejak lama, ini saatnya untuk dicoba. Kita akan berkirim surat.”

“Surat?”


***

Beribu maaf kami haturkan sebelumnya. Kami adalah para petani kecil dan banyak di antara kami yang tidak pernah ikut sekolah. Tapi, cucu-cucu kami banyak yang sekolah, walaupun hanya sampai tingkatan menengah atas. Nilai cucu-cucu kami juga lumayan bagus, sayangnya kami tidak bisa terus menyekolahkan mereka. Kami tidak punya biaya. Melalui surat ini kami memohon dengan sangat supaya cucu-cucu kami dibantu untuk meneruskan sekolah lagi.

Dari kami,
Kelompok Petani Mulyo Tani Desa Sidogiri.


Begitu isi suratnya.

Kami menyisihkan sedikit demi sedikit uang untuk amplop dan biaya pos. Mulanya kami sambangi Kepala Desa untuk persetujuan serta tanda tangannya. Tak ada guna kami ke sana, Pak Kades tak mau mengail bencana setelah tahu surat ini beralamat kepada Pak Camat. “Bukannya saya tak mau memberi persetujuan. Ini semua di luar wewenang saya. Kalau hanya surat keterangan warga desa saya bisa buatkan, sekali lagi mohon maaf,” ucap Pak Kades.

Pantang patah arang, kami pun memutuskan untuk mengirimkannya langsung ke Kecamatan. Seminggu dua tak jua balasan datang. Dengan isi sama, surat itu kami layangkan ke Bupati. Lelah menunggu jawab surat itupun kami alamatkan ke Gubernur. Masih tak berjawab juga, surat itu kami kirimkan ke Menteri Pendidikan. Tak dapat apa yang kami niat. Surat kandas tak berbalas.

Malam itu kumpulan kembali dihelat. Kami sepaham untuk melayangkannya kepada Presiden. Tak main-main, kali ini kami membuat dua belas surat sekaligus. Kami akan mengirimnya sehari barang selembar, selama dua minggu.

“Kalau ini tak juga ada hasil tak usahlah kita berkirim-kirim surat lagi. Berat di ongkos,” begitu kata Mbah Mardi. Kami mengamininya.


***

Hingga datanglah hari itu –empat puluh hari setelah surat yang terakhir terkirim- berlima kami diminta menghadap Bupati. Diiring Pak Kades dan Camat yang terlihat agak rikuh. Ya, surat kami kepada Presiden mendapat tembus. Secara khusus Presiden menitipkan pesan agar kami mempersiapkan 15 anak muda. Hanya jumlah itu yang ditanggung. Apapun jurusan dan perguruan tinggi yang mereka anggap bisa dipilih.

Pengumuman besar-besaran kami sebar. Pemuda yang kira-kira berminat kami datangi untuk di data. Yang ikut berburuh di luar desa, kami minta kembali. Yang bekerja serabutan di kota juga kami kabari.

Ternyata banyak sekali yang berminat untuk kuliah. Ada 46 pemuda. Di antara mereka ada yang akan melepaskan pekerjaannya di warung makan jika ikut terpilih. Akhirnya tenaga Pak Slamet kami minta juga. Guru SD yang ditugaskan di desa kami itu kami serahi memilih 15 terbaik.

Waktu bergulir terus berlalu. Sampai pada akhirnya kami harus mengantar mereka sampai ke batas desa. Setelah diberi wejangan oleh Mbah Mardi sampai malam memuncak, hari ini mereka akan pergi ke kota tujuan masing-masing. Kepada mereka doa kami haturkan, harapan kami titipkan.


***

Empat tahun kemudian

“Hari ini syukur wajib kita ucap. Desa kita sekarang sudah punya sarjana-sarjana dalam berbagai bidangnya. Ada dokter, sarjana pendidikan, ahli pertanian, ekonomi dan teknologi, energi, informatika dan hukum. Secara khusus saya ucapkan selamat kepada kalian para sarjana karena memenuhi janji untuk kembali dan membangun desa. Jarang, orang pintar mau mengamalkan ilmu di desa terpencil dan terbelakang seperti ini. Saya harap tak ada sesal hati,” ucap Mbah Mardi dalam syukuran di rumahnya kala itu.

“Tak ada kata menyesal, kami malah sangat berterimakasih sudah dibantu menuntut ilmu. Kini, saatnya kami amalkan ilmu seperti janji kami dahulu,” ujar salah seorang sarjana baru itu.

Hari-hari selepas pertemuan itu begitu cepat berlalu. Tak sadar dua tahun terlampaui. Wajah desa kelihatan sumringah menikmati perbaikan demi kemajuan yang diukir para sarjana muda sebagai penggerak. Kini desa telah berswasembada listrik. Dengan turbin yang digerakkan sumber air yang ada di ujung desa warga hanya perlu menyisihkan sedikit uang untuk perawatan. Sisa energi disalurkan ke desa-desa tetangga yang kekurangan.

Warga juga tak lagi bingung dengan harga pupuk dan pestisida yang melambung. Pupuk organik dan penangkal hama telah berhasil diproduksi. Didirikan pula koperasi multi fungsi, simpan-pinjam, menampung hasil pertanian dan tempat belanja murah. Rekayasa bahan bakar dan energi terbarukan juga sudah mulai dipergunakan. Dari urin sapi, tanaman jarak, kelapa dan singkong. Begitulah, wajah desa banyak berubah.


***

Malam itu, kumpulan “Mulyo Tani” kembali dihelat. Kali ini ditambah para sarjana. Kami bermufakat untuk menggelar aksi mogok.

“Ini saatnya kita menjadi tuan di negeri sendiri. Esok kita tanam padi untuk diri sendiri saja. Selama ini susah payah kita menanam padi, namun setelah jadi gabah dan beras keringat kita tak dihargai dengan semestinya. Uang yang kita dapat tak cukup untuk sekadar hidup. Untuk membayar utang tak kurang saja sudah senang. Esoknya kita harus pontang-panting cari utang untuk membeli pupuk. Hasil produksi kita sengaja ditekan harganya, katanya untuk mengerem inflasi. Sedang semua hal yang tidak kita produksi mahalnya setengah mati. Banyak sawah terjual hanya untuk suntik beberapa kali. Pendidikan tinggi sulit digapai. Saya rasa menjadi petani saat ini tak ubahnya menjadi budak di negeri sendiri,” ucap Mbah Mardi berapi-api.

Dua hari kemudian kami melakukan demonstrasi di kantor kecamatan dan kabupaten. Paginya, berbagai media banyak memberitakan acara mogok kami.

Beberapa hari kemudian kami dipanggil untuk menghadap ke kantor bupati. Kali ini juga masih ditemani Pak Kades dan Camat yang akhir-kahir ini uring-uringan karena mendapat teguran dari atasan. Tidak becus mengurusi warganya yang berbuat onar.

“Kalian itu apa tidak tahu cara berterima kasih. Apa ini balasan terhadap pemerintah yang telah menyekolahkan anak-anak desa kalian hingga jadi sarjana. Sebenarnya apa mau kalian?” Bupati memulai pembicaraan.

“Mohon maaf sebelumnya. Beberapa dari anak-anak kami memang telah disekolahkan oleh pemerintah, tapi bagaimana dengan nasib anak-anak petani yang lain. Bagaimana dengan anak-anak nelayan, buruh pabrik dan anak-anak miskin kota yang sampai saat ini tak bisa sekola...” Belum selesai Mbah Mardi menjawab Bupati sudah memotong.

“Itu urusan mereka. Itu salah mereka, mengapa masih saja mau saja menjadi orang miskin. Kalau tahu menjadi petani, buruh atau nelayan itu susah, mengapa tidak beralih pekerjaan,” ujar bupati dengan nada tak bersalah dan sebaliknya malah menyalahkan rakyat miskin.

Saat itu ingin rasanya aku menyarangkan kepalan ke mukanya, namun puluhan petugas yang berbaris membuat urung. Sempat mampir di mataku siluet tangan Mbah Mardi yang juga mengepal. Tak kusangka Bupati yang pada masa kampanyenya begitu merakyat kini berbalik 180 derajat. Setelah mendapat cukup “arahan” kami pun pulang.

Esoknya, seluruh pelosok negeri gempar dengan sebaran SMS “Kami mengajak seluruh elemen petani Indonesia untuk mogok menjual hasil produksinya kepada pemerintah. Kami akan melihat sampai kapan pemerintah bisa bertahan mengimpor gandum, susu, daging, beras, kedelai, garam, ikan, gula dan lain sebagainya dari luar negeri. Dari kami, Petani MULYO TANI.”

Beberapa koran termasuk satu koran nasional menayangkan press release mogok kami. Puluhan blog mengabarkannya. Tak lupa pula akun jejaring sosial dengan berbagai nama saling menyembul, di antaranya “10.000.000 warga dukung mogok petani.”

Ya, para sarjana itu yang melakukan. Tak tahu, berapa jumlah SMS terkirim. Mungkin alat yang mereka sebut SMS Gateway itu yang jadi pemicu. Kami juga tak tahu kapan mogok ini akan berakhir. Yang pasti kami tak mau terus-menerus menjadi budak di negeri sendiri.


*Agus Hariyanto. Lahir di lingkungan petani kecil Bojonegoro, Jatim pada Agustus 1988. Menulis cerpen, esai dan artikel. Aktif pada Kelompok sastra Pesanggerahan Kalamende Semarang. Cerpennya terdapat dalam antologi Rendezvous Di Tepi Serayu (Grafindo, 2009).

** Cerpen ini pernah dimuat di Harian Surabaya Post, Edisi 20 juni 2010. Bisa juga dibaca di: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=01edeb72ae20fe8bd93d126ec0fbaf91&jenis=9bf31c7ff062936a96d3c8bd1f8f2ff3